BADAN RISET DAN INOVASI DAERAH PROVINSI BALI – Dampak pemanasan global dan perubahan iklim akibat efek Gas Rumah Kaca telah menjadi tantangan global yang mendesak, dimana berbagai negara berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2 guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada pertengahan abad ini. Kesepakatan Paris 2015 menjadi tonggak penting dalam upaya global untuk menekan dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Sejalan dengan komitmen tersebut, Indonesia telah menetapkan target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution atau NDC). Salah satu strategi utama dalam pencapaian target ini adalah penerapan mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) melalui skema perdagangan karbon, pajak karbon, dan kompensasi karbon (carbon offset) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional Dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.
Pemerintah Provinsi Bali, sebagai bagian dari komitmen nasional dalam mengurangi emisi GRK, telah menetapkan kebijakan Pembangunan Rendah Karbon Daerah (PRKD) dengan visi Bali Net Zero Emission (NZE) 2045. Guna mewujudkan visi tersebut, maka dimulai dengan langkah konkret (proof of concept) berupa program 100% Energi Baru Terbarukan (EBT) di Nusa Penida pada tahun 2030. Kepulauan Nusa Penida sebagai bagian dari kepulauan Bali, terdiri dari Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, dan Nusa Penida memiliki potensi besar untuk menjadi kawasan percontohan pengembangan Pariwisata Hijau (green tourism) melalui transisi energi berbasis EBT. Namun, terdapat berbagai tantangan yang harus diatasi dalam mewujudkan target ini. Pertama, pasokan listrik di Nusa Penida masih didominasi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan pada jaringan listrik utama dari Bali yang sebagian besar masih menggunakan energi fosil. Kedua, transisi ke energi berbasis EBT memerlukan investasi awal yang besar, terutama untuk pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan biomassa. Ketiga, disamping investasi yang besar, pembangunan subsektor Pembangkit Listrik, berbasis EBT memiliki potensi manfaat ekonomi tambahan yang belum disentuh, yaitu Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Namun konsep dan penerapan NEK belum sepenuhnya dipahami di daerah karena belum adanya kebijakan yang didasari kajian komprehensif mengenai potensi Nilai Ekonomi Karbon sektor energi di Nusa Penida yang dapat menjadi sumber pendapatan alternatif bagi Pemerintah Daerah melalui skema perdagangan karbon dan mekanisme insentif lainnya.
Terkait hal tersebut Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Provinsi Bali telah melakukan kunjungan ke Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup, Badan Riset dan Inovasi Nasional untuk melakukan konsultasi dan koordinasi terkait penelitian atau kajian tentang ekonomi karbon serta metode pelaksanaan ataupun skema perhitunganya sebagai referensi dan pengayaan literasi dalam pelaksanaan Kajian Potensi Nilai Ekonomi Karbon dalam Dekarbonisasi Pembangkit Tenaga Listrik Berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) di Nusa Penida, yang dilaksanakan melalui Kontrak Swakelola Penelitian dengan Universitas Pendidikan Nasional sehingga diharapkan mendapatkan penajaman serta menghasilkan luaran penelitian sesuai yang diharapkan